‘Boleh nitip kalender, nggak?’
‘Kalender
apa?’
‘Ini,’
ujar seorang teman sambil menunjukkan sebuah kalender partai yang dihiasi
gambar beberapa Caleg DPR RI.
‘Siapa
nih?’
‘Psst,
suamiku.’
Olalaaaa.
.
Sungguh
salut saya dengan teman ini. Suaminya adalah calon legislatif dari salah satu
partai besar di negeri kita. Sebagai layaknya seorang istri yang berbakti
kepada suami, gencar pula ia membantu melakukan promosi. Yang tak dapat saya
bayangkan adalah bagaimana ibu dari tiga bocah yang masih kecil ini harus
pandai membagi waktu antara mendampingi si kecil dan menemani suami untuk
berdiskusi baik secara tatap muka maupun lewat jalur sosial media. Kadang saya
sempat ditunjukkan beberapa argumen dalam perdebatan sengitnya di Facebook
dengan beberapa orang yang mungkin kontra dengan pendapatnya. ‘Selama ini
pandangan orang tentang politik itu sedemikian kotornya, meski tak sepenuhnya
salah, namun ada beberapa pendapat yang keliru tentang bla bla blaaaa,’
demikian ujarnya berapi-api dalam toilet satu ketika. Saya yang sedang
merapikan rambut saat itu, karena baru turun dari motor, tinggal
manggut-manggut saja mendengarnya, ‘Ya...Ya...Yaa.’
Di
Balik Lelaki Hebat, Ada Wanita Hebat Juga
Tak
berlebihan jika kutipan ini menggambarkan bagaimana posisi teman saya itu dalam
rumahtangganya sekarang. Memasuki musim kampanye seperti sekarang, ia
benar-benar melakukan tugasnya mendukung suami dengan maksimal. Gas pol, kata
orang. Meski berpromosi di jalurnya sendiri-sendiri, saya melihat betapa teman
ini memiliki semangat juga dalam beradu argumen. Visinya jelas, tegas, dan tak
plin-plan bunyinya (mungkin karena dasarnya waktu mahasiswa dia aktivis juga). Meski
kadang kami mentertawakannya, karena nomor suaminya ada di posisi paling bawah
dalam partainya, tapi dia cuek saja. Orang bilang (maaf) nomor buncit
menunjukkan Caleg yang kere dan nggak ada duitnya, tapi justru karena itu malah
membuatnya bangga.
Kalau
dipikir, dia nggak ada salahnya juga. Adalah satu kebanggaan karena nama
suaminya bisa muncul di permukaan meski tanpa banyak uang. Satu kali bahkan dia
pernah mengeluh karena spanduk suaminya hilang dicolong orang. Padahal untuk
mencetak satu gambar seukuran poster harganya bisa sampai seratus lima puluh
ribuan. ‘Pesennya banyak emang?’ tanya saya. Dan dia menggeleng, ‘Manalah kami
punya uang. Cuma beberapa saja. Itupun tinggal satu yang nggak dijamah orang.’ Oalah,
kejamnya dunia.
Jangan
Golput, Please
Mungkin
kisah ini juga gambaran bagaimana posisi seorang wanita yang wajah suaminya
tercetak dalam kartu surat suara. Mendekati hari ‘H’ semakin bertambah
cemasnya. ‘Kalo kalah gimana?’ tanya saya. ‘Kalah menang itu suara Tuhan. Jika
yang diatas sana menghendaki suamiku duduk di DPR, maka jadilah seturut
kehendakNya. Jika tidak, disyukuri saja semua prosesnya. Toh hidup itu tentang
bagaimana kita belajar.’ Diplomatis memang, tapi dia benar. Sebagai Caleg di
nomor paling bawah, saat hari ‘H’, hanya pasrah yang dia punya. Untuk
berkampanye di jalanan, blusukan, masuk radio, cetak baliho, semuanya butuh
uang. Nggak gampang.
‘Banyak
habisnya? Jangan sampai stress nanti kalo kalah.’ Entah mengapa sejak mendengar
beberapa Caleg gagal yang menghuni rumah sakit jiwa, saya jadi ikut cemas
memikirkan suaminya. ‘Gaklah. Kami gak keluar banyak uang kok. Kalo kalah ya
sudah. Beruntung kami tak sampai jual-jual tanah dan hutang kemana-mana.’
Syukurlah.
Mendekati
pelaksanaan Pileg minggu depan semakin memantapkan hati saya untuk tidak Golput
sampai kapanpun juga. Bukan karena pesan teman tadi untuk mencoblos nomor
suaminya, sebab sesungguhnya ia sangat menghargai siapapun pilihan kami
teman-temannya, namun lebih karena pemikiran bahwa suara saya nanti dapat ikut
andil menentukan siapa yang berkesempatan untuk memimpin negeri tercinta ini di
lima tahun mendatang. Dan harapan saya bahwa negeri ini masih bisa selamat di
tangan orang-orang yang benar (menurut impian saya).
Melintasi
jalanan yang dipenuhi beberapa ukuran spanduk sore ini, masih jelas terngiang
di telinga saat teman saya yang nyonya Caleg itu berkata, ‘Jangan Golput ya,
please.’ Saya tersenyum menyentuh pundaknya. ‘Tenang saja. Tidak akan
(Golput).’ Dan itu pasti jawabannya.
Selamat
memilih, Indonesia!
.
#karbon tulisan saya di Kompasiana
.
Komentar