Semua berawal dari pikiran
Saat merenungi keluhan teman
itu kemarin, sepanjang perjalanan pulang saya coba menelaah kembali, saya-dia,
apa ya bedanya. Untuk urusan kerjaan mungkin tensitas pekerjaan dia dan saya
hanya seujung kuku bedanya. Tapi mungkin cara kami menyelesaikan pekerjaan itu
yang sangat jauh berbeda. Tiap orang punya stress-nya masing-masing dalam
menghadapi setumpuk tugas rutin, dan saya mungkin satu tipe yang kalo ritme
pekerjaan sedang tinggi suka ‘autis’ sendiri. Saat bergumul dengan pekerjaan
hari-hari, sebanyak mungkin saya berhenti melontarkan komplin. Ingat pesan ibu,
kalo suka mengeluh nanti rejekinya jauh. Ini pepatah gampang namun sekaligus
yang paling susah untuk dilakukan. Intinya satu, kuasai diri. Semuanya berawal
dari yang kita pikirkan.
Ambisi (nggak selalu
seperti Rossi)
Seperti layaknya saat
berkendara di jalan raya, tak pernah sekalipun terlintas di pikiran saya untuk
selalu menjadi yang terdepan seperti Valentino Rossi. Seorang teman kalo di
jalanan mendadak bisa jadi kayak jagoan. Pernah saat dibonceng sepanjang
perjalanan saya hanya bisa melantunkan doa selamat supaya dijauhkan dari mara
bahaya. Ngeri nyetirnya! Mau protes sungkan, mau ngepruk helm-nya juga gak
mungkin, bisa diturunin di jalan saya. Dari caranya menyetir satu pertanyaan
saya, ‘emang gak capek ya harus nyetir sambil ngotot gitu terus-terusan?’ Kalo
toh ada pengendara lelet di depan, apa ya harus ditendang juga rodanya biar dia
dapet jalan? Dih, di jalan raya aja kok nggak bisa bahagia ya? Ngamuk-ngamuk
mulu. Tekanan darah bisa naik terus kalo gitu.
Itu Rossi, apa bedanya sama
ambisi? Sebelas dua belas. Jadi manusia tanpa ambisi itu salah ya? Tidak kok.
Hanya saja bisa diatur waktunya. Nggak selamanya loh pengacara handal itu
selalu menang. Bisa kalah juga. Dan kebanyakan pengacara tau kapan saat ia akan
kalah dan sebaliknya kapan akan menang. Semua tergantung amunisi yang dipegang.
Ambisi-Rossi-pengacara, pelajari baik-baik dimana kata kuncinya.
Jangan rewel (terima
saja)
Seorang teman pernah
uring-uringan gara-gara ibu kantin menambahkan sesendok kuah soto ke atas
nasinya. Sepanjang menerima piring nasi dan mangkok soto ia terus mengomel dan
mengeluh karena tak terbiasa makan soto dengan banyak kuah berlimpah (loh).
Saya yang berada di sebelahnya bersama ibu kantin itu hanya bisa ndomblong
menatap wajah cantiknya. Rewel sekali. Hanya gara-gara kelebihan kuah dan ia
tak bisa menikmati makan siangnya? Padahal kuah soto dia dan saya sama rasanya.
Cuma masalah selera. Salah siapa?
Banyak dari kita yang suka
bawel jika ada hal-hal yang terjadi di luar keinginan kita. Hei, hidup tak
sepenuhnya ada di tangan kita sendiri, begitu banyak orang berdiri di
sekeliling yang juga memegang kendali. Artinya apa, ada hal-hal yang kadang
bisa berjalan di luar ekspektasi. Hal-hal yang seketika membuat darah kita
menaik tinggi, tapi mengeluhkan hal itu sepanjang hari? Emang mau terus begitu?
Saya sendiri juga masih harus banyak belajar mengendalikan diri untuk tak
meributkan hal-hal kecil yang terjadi diluar keinginan. Saat saya belajar untuk
menerima, segalanya kok jadi lebih mudah. Menerima di sini tidak berarti
bersikap pasrah trus apatis sama segalanya loh ya. Beda.
Intinya begini, hidup ini random jalannya. Ada hal-hal buruk yang bisa menimpa orang-orang baik, demikian sebaliknya. Life is full of surprises. Saat harus mendapati hal yang berjalan diluar kendali, ada baiknya untuk menerima. Terima dulu. Jangan menolak buru-buru. Percuma. Hanya menguras energi kita saja bisanya. Setelah menerima barulah kita bisa memikirkan dan mengambil langkah berikutnya. Mudah? Kelihatannya begitu ya, tapi coba benar terapkan saat menghadapi masalah, kita mungkin akan terbebas dari pikiran-pikiran yang menyesatkan. Balik lagi, pikiran yang sehat akan membuat tubuh bereaksi sehat juga. Ingat pepatah ‘unhealthy mind, even in a healthy body, will ultimately destroy your health.’ Nah loh.
.
karbon tulisan saya di Kompasiana
.
Komentar